Jumat, 31 Juli 2009

Kepemimpinan Sekolah Yang Efektif

KEPEMIMPINAN SEKOLAH YANG EFEKTIF, KREATIF DAN INOVATIF
OLEH: TOTO DIANTO, S.Pd. MA

BAB 1 PENDAHULUAN

Sebagaimana kita maklumi bersama bahwa peningkatan kualitas pendidikan telah dilaksanakan secara terus menerus, baik dilakukan secara konvensional maupun inovatif. Hal tersebut lebih terfokus lagi setelah diamanatkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada setiap jenjang pendidikan. Namun demikian, berbagai mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian besar lainnya masih memprihatinkan. Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya terdapat tiga factor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami perubahan secara merata ( Depdiknas,2001: 1-2 ).
Faktor pertama, kebajikan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production funcion atau input-output analisis, yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.
Menyadari hal tersebut, pemerintah telah melakukan upaya penyempurnaan system pendidikan, baik melalui penataan perangkat lunak (software ) maupun perangkat keras ( hardware ). Di antara upaya tersebut, antara lain
dengan dikeluarkannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang secara langsung berpengaruh terhadap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan. Bila sebelumnya pengelolaan pendidikan merupakan wewenang pusat, maka dengan berlakunya UU tersebut kewenangannya berada pada pemerintah daerah kota/kabupaten.
Sejalan dengan itu, dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, mengantisipasi perubahan-perubahan global pada persaingan pasar bebas, serta tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi yang semakin hari semakin canggih, maka pemerataan pelayanan pendidikan perlu diarahkan pada pendidikan yang transparan, berkeadilan dan demokratis (democratic education). Hal tersebut harus dikondisikan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Dalam hal ini, sekolah sebagai sebuah masyarakat kecil (mini society yang merupakan wahana pengambangan peserta didik, dituntut untuk menciptakan iklim pembelajaran yang demokratis (democratic instruction), agar terjadi proses belajar yang menyenangkan (joyfull learning).
Untuk kepentingan tersebut diperlukan perubahan yang cukup mendasar dalam system pendidikan nasional, yang dipandang oleh berbagai pihak sudah tidak efektif, dan tidak mampu lagi memberikan bekal, serta tidak dapat mempersiapkan peserta didik untuk bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan paradigma baru manajemen pendidikan.
Ketentuan tersebut telah diundangkan dalam UU Sisdiknas 2003, pasal 52 ayat (1), bahwa “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah”.
Manajemen Berbasis Sekolah atau School Basic Management (MBS)
Merupakan strategi untuk mewujudkan sekolah yang efektif dan produktif. MBS merupakan paradigma baru manajemen pendidikan yang memberikan otonomi luas pada sekolah dan pelibatan masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
Dalam bab-bab selanjutnya akan diuraikan beberapa hal yang terkait dengan optimalisasi MBS, diantaranya pada Bab II Efektivitas, Efisiensi dan Produktivitas.Bab III membahas Kepemimpinan, Bab IV membahas Koordinasi, Komunikasi dan Supervisi serta pada Bab V Manajemen Pembiayaan Pendidikan Berbasis Sekolah.

BAB II
EFETIVITAS, EFISIENSI DAN PRODUKTIVITAS
A.Konsep Efektivitas, Efisiensi dan Produktivitas
Dalam ilmu ekonomi, konsep-konsep seperi efektifitas dan efisiensi dihubungkan dalam proses produksi dari suatu organisasi. Taruhlah dalam bentuk yang agak disesuaikan dengan cara produksi, suatu proses produksi dapat disimpulkan sebagai ‘perputaran’, atau perubahan dari ‘input’ ke dalam ‘output’. Semua input yang masuk kedalam suatu sekolah atau system sekolah termasuk para murid dengan segala karakteristik tertentu yang ada pada mereka, serta semua bantuan keuangan dan materi pada mereka. Output meliputi prestasi yang dicapai murid pada akhir masa pendidikannya. Proses atau alur masuk (throughput) perubahan yang terjadi dalam suatu sekolah itu dapat dipahami sebagai suatu keseluruhan metode pengajaran, pilihan kurikulum dan prasarat organisasi yang memungkinkan bagi para murid untuk memperoleh pengetahuan. Output jangka panjang ditujukan dengan istilah’outcome’ lihat tabel 1
Tabel 1. Analisa factor dalam proses produksi pendidikan
Input Proses Output Outcome
Pembiayaan Metode-metode Skor ujian akhir Tersebar dalam
Pengajaran sekolah pasar tenaga kerja

Efektifitas kini dapat digambarkan dengan sejauh mana tingkat output yang diinginkan tercapai. Kemudian efisiensi bisa didefisinikan sebagai tingkat output yang diinginkan dengan kemungkinan biaya yang rendah. Dengan kata

lain, efisiensi adalah efektifitas dengan keperluan tambahan yang ingin dicapai dengan menempuh kemungkinan cara yang termurah. Cheng (1993) dalam Jaap Scheerens (2003) lebih jauh memberikan elaborasi mengenai definisi tentang efektivitas dan efisiensi, yang memasukan dimensi output jangka pendek versus outcome jangka panjang. Meminjam kalimat Cheng, bahwa efisiensi dan efektivitas teknis mengacu pada “output sekolah yang terbatas pada mereka yang ada di sekolah atau segera setelah mereka menyelesaikan pendidikan sekolah (misalnya, perilaku belajar, keterampilan yang diperoleh, perubahan sikao, dll)”, sedangkan efisien social dihubungkan dengan “berbagai pengaruhnya pada di tengah-tengah masyarakat atau pengaruhnya pada kehidupan jangka panjang pada individu (misalnya,mobilitas social,pendapatan,produktivitas kerja)”,

Analisis mengenai efisiensi dan efektivitas tersebut dimulai dengan pertanyaan tentang bagaimana kita harus mendefinisikan ‘output yang diinginkan’ dari suatu sekolah, sekalipun kita berkonsentrasi pada pengaruh jangka pendek. Misalnya, ‘produksi’ atau hasil sekolah menengah dapat diukur dengan jumlah murid yang berhasil mendapatkan ijazah yang diserahkan sekolah. Dengan begitu, unit pengukurannya adalah murid setelah lulus ujian akhir. Akan tetapi, seringkali kita mencari pengukuran yang lebih tepat, yang dalam kasus ini, relevan untuk melihat, misalnya, pada peringkat yang dicapai para murid dalam berbagai mata pelajaran ujian mereka. Ditambah lagi, ada berbagai pilihan yang dibuat berkenaan dengan lingkup pengukuran efektivitas. Apakah hanya prestasi keterampilan dasar saja yang harus dikaji? Apakah juga mungkin memperhatinkan proses kognisi yang lebih tinggi? Dan tidakkah juga hasil afektif dan atau social dalam pendidikan dapat dinilai sedemikian rupa? Permasalahan lain sehubungan dengan analisis ekonomi mengenai sekolah meliputi kesulitan menentukan nilai moneter dari input dan proses, serta tidak adanya kejelasan umum tentang bagaimana proses produksi beroperasi (justru pengukuran teknis dan proseduran diperlukan untuk mencapai output maksimum).
Selaras dengan pertanyaan tentang kegunaan definisi efektivitas dalam istilah ekonomi, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah menganggap sekolah sebagai suatu unit produksi dapatditerima.

B.Ciri-ciri Sekolah Efaktif
Mengutip B. Suryosubroto (2004), manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effectife school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979). Beberapa indicator yang menunjukan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut:
1.Lingkungan sekolah yang aman dan tertib
2.Sekolah memiliki visi, misi dan target mutu yang ingin dicapai
3.Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat
4.Adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru dan staf
lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi
5.Adanya pengembanggan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK
6.Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik
dan administrative dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu
7.Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat

B.Prinsip Dalam Pencapaian Efektivitas, Efisiensi dan Produktifitas
Dalam pengimplementasian konsep ini,kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili masyarakat sekolah dan secara professional harus terlibat dalam setiap Proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total untuk pencapaian efektifitas, efisiensi dan produktifitas yang tinggi, dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total, yaitu:
1.Perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus-menerus mengumandangkan
peningkatan mutu.
2.Kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah
3.Prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan
4.Sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan,
sikap arif bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional.

BAB III
KEPEMIMPINAN SEKOLAH
Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berhubungan satu dengan yang lain, dalam mencapai tujuan hidupnya. Dalam berhubungan satu sama lain diperlukan adanya seorang pemimpin yang melaksanakan, memandu, dan membawa pekerjaan ke arah pencapaian tujuan, demi terwujudnya kebaikan dan reformasi.
Di antara jenis kepemimpinan adalah kepemimpinan pendidikan, karena keberhasilan pendidikan dalam membawa umat dan berusaha membangkitkannya erat kaitannya dengan figure kepemimpinan yang benar.
A.Pentingnya Kepemimpinan Sekolah
Berbagai perubahan masyarakat dan krisis multidimensional yang sedang melanda Indonesia akhir-akhir ini, antara lain ditandai dengan sulitnya menemukan sosok pemimpin idealis yang memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan. Kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting dalam manajemen berbasis sekolah. Kepemimpinan berkaitan dengan kepala sekolah dalam meningkatkan kesempatan untuk mengadakan pertemuan secara efektif dengan para guru dalam situasi yang kondusif. Perilaku kepala sekolah harus dapat mendorong kinerja para guru dengan menunjukan rasa bersahabat, dekat dengan penuh pertimbangan terhadap para guru, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.
Dalam implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS), kepala sekolah merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan madrasah, yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan pada umumnya direalisasikan. Sehubungan dengan MBS, kepala sekolah dituntut untuk senantiasa meningkatkan efektifitas kerja, sehingga MBS sebagai paradigma baru manajemen pendidikan dapat memberikan hasil yang memuaskan.
Kinerja kepemimpinan sekolah dalam kaitannya dengan MBS adalah segala upaya yang dilakukan dan hasil yang dapat dicapai oleh kepala sekolah dalam mengimplementasikan MBS untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sehubungan dengan itu, kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam MBS dapat dianalisis berdasarkan kriteria sebagai berikut :
1.Mampu memberdaya pendidikan dan tenaga kependidikan untuk mewujudkan proses
pembelajaran yang baik, lancar, dan produktif.
2.Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan secara tepat waktu dan tepat sasaran.
3.Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan
mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
4.Bekerja secara kolaboratif dengan tim manajemen.
5.Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan.
B.Hukum Dasar Kepemimpinan Sekolah
Dari berbagai teori yang telah ditelaah dapatlah dikemukakan bahwa seorang kepala sekolah yang efektif harus mempunyai hukum dasar kepemimpinan yang baik. Dengan mengkaji dan menganalisa pendapat Peter dan Austin, Batten, Spenbauer, Keith dan Girling, Permadi, serta Satori, dapat diidentifikasi hukum dasar kepemimpinan sekolah sebagai berikut :

1.Visi Kepala Sekolah
Visi merupakan idealisasi pemikiran, dapat berupa cita-cita yang mengarahkan individu untuk meraihnya melalui berbagai upaya yang dilakukan. Visi merupakan cara memandang yang komprehensif, mendalam dan jauh kedepan, serta melebihi batas ruang dan waktu serta tempat.
Karakteristik kepala sekolah yang memiliki visi yang utuh dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
a.Berniat ibadah dalam melaksanakan tugasnya,
b.Beragama dan taat akan ajaran agama yang dianutnya,
c.Berniat baik sebagai kepala sekolah,
d.Berlaku adil dalam memecahkan masalah,
e.Berkeyakinan bahwa bekerja dilingkungan sekolah merupakan dan panggilan jiwa,
f.Bersikap tawadhu (rendah hati),
g.Berhasrat memajukan sekolah,
h.Tidak terlalu berambisi terhadap imbalan materi dan hasil pekerjaannya,
i.Bertanggung jawab terhadap segala ucapan dan perbuatannya.

2.Keteladanan Kepala Sekolah
Keteladanan merupakan dimensi yang tidak kalah pentingnya dalam kepemimpinan sekolah. Keselarasan antara perkataan dan perbuatan adalah pepatah yang harus selalu diingatkan kepada para kepala sekolah. Kelakuan kepala sekolah yang selalu menjadi teladan yang baik bagi bawahannya akan menjadi salah satu modal utama bagi lancarnya MBS.
Dengan perilaku yang menunjukan keteladanan dalam berbagai hal tidak terlalu sulit bila kepala sekolah untuk menegur bawahannya. Dengan keteladanan kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan akan segan dan pada gilirannya mereka juga akan meniru apa yang dilakukan oleh kepala sekolah.
3.Tanggung Jawab Kepala Sekolah
Tanggung Jawab merupakan beban yang harus dipikul dan melekat pada seorang kepala sekolah. Segala tindakan yang dilakukan oleh semua staf merupakan tanggung jawab kepala. Memikul tanggung jawab adalah kewajiban seorang pemimpin dalam berbagai situasi dan kondisi. Tanggung jawab juga berkaitan dengan resiko yang dihadapi oleh seorang pemimpin, baik berupa sangsi dari atasan atau pihak lain yang berhubungan dengan perbuatan yang dilakukan, maupun yang dilakukan oleh pihak kepala sekolah dan tenaga kependidikan.
C.Harapan Guru Terhadap Kepala Sekolah
Sebagai pemimpin sekolah, kepala sekolah harus sadar bahwa keberhasilannya bergantung pada orang-orang lain, seperti guru dan tenaga kependidikan. Kepala sekolah yang bijaksana mengetahui apa yang diharapkan tenaga kependidikan kepadanya. Sekelompok guru di salah satu universitas menggunakan teknik “brainstorming” untuk menjawab pertanyaan apakah yang diharapkan oleh guru terhadap kepala sekolah yang kompeten? Mereka menyimpulkan jawaban bahwa kepala sekolah seharusnya :
1.Mampu bersikap tanggap,
2.Memiliki sikap positif dan optimis,
3.Jujur dan transparan,
4.Berpegang teguh pada keputusan yang diambil,
5.Pengertian dan tepat waktu dalam mengunjungi kelas,
6.Menerima perbedaan pendapat,
7.Memiliki rasa humor,
8.Terbuka, mau mendengar dan menjawab pertanyaan,
9.Memahami tujuan pendidikan,
10.Dapat di terima oleh guru,
11.Memiliki pengetahuan tentang metode mengajar,
12.Memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat,
13.Tanggap terhadap kemampuan guru dan memberi kebebasan kerja,
14.Manusiawi (Stoop and Johnson, 1967).

BAB IV
KOORDINASI, KOMUNIKASI DAN SUPERVISI

Koordinasi, komunikasi dan supervisi, sebagai bagian dari manajemen pendidikan dari sudut proses pencapaian tujuan pendidikan adalah bagian dari daur (siklus) yang dimulai dari : perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pembiayaan, pemantauan dan penilaian (supervisi) (B. Suryosubroto, 22).
A. Koordinasi
Koordinasi mewujudkan suatu organisasi yang lain dari pada hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dengan koordinasi seluruh kegiatan serta usaha-usaha perseorangan dapat diarahkan kepada suatu tujuan tertentu. Karena itu kepala sekolah sebagai generalis yang menentukan kebijakan dapat mengarahkan seluruh kegiatan dalam rangka koordinasi. Maksud adanya satu kebijakan itu adalah sebagai kerangka dasar seluruh kegiatan organisasi. Tanpa satu kebijakan atau dengan satu kebijakan yang tidak tegas, maka seorang koordinator akan sulit untuk melakukan tugasnya karena tidak terdapat suatu ukuran yang dipakai untuk mengukur hasil-hasil organisasi. Administrasi tidak bergerak dalam sesuatu yang kosong tetapi bergerak untuk dan ke arah suatu yang diinginkan (Bushari Zainun, 1987 dalam B. Suryosubroto, 2004).
Pengkoordinasian di sekolah diartikan sebagai usaha untuk menyatupadukan kegiatan dari berbagai individu atau unit di sekolah itu agar kegiatan mereka berjalan selaras dengan anggota atau unit lainnya dalam usaha mencapai tujuan sekolah. Usaha pengkoordinasian dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti :
1.Melaksanakan penjelasan singkat (briefing),
2.Mengadakan rapat kerja,
3.Memberikan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis,
4.Memberikan balikan tentang hasil suatu kegiatan.
B.Komunikasi
Berbicara mengenai pengkoordinasian, tentu tidak akan lepas dari aspek komunikasi. Komunikasi adalah alat untuk saling berbagi ide, perasaan dan sumber daya. Semua pertukaran sosial maupun pekerjaan sangat tergantung pada komunikasi. Jika komunikasi putus, maka ketidaksepakatan dan kesalahpahaman pun segera akan terjadi.
Komunikasi didasarkan pada memberi dan menerima informasi. Dalam bentuknya yang sederhana, komunikasi terdiri dari dua kegiatan : mendengarkan dan berbicara. Sesungguhnya, kedua-duanya memerlukan sikap/ tingkah laku yang sangat rumit dan menggunakan pengalaman selama hidup seseorang (Carol A. O’Connor,1996).
Mendengarkan mengharuskan seorang pemimpin sadar akan tiga sifat pokok berikut : prasangka/kecenderungan, sinyal visual, dan bunyi vokal. Prasangka/kecenderungan adalah cara berpikir yang cenderung untuk menyukai atau membenci orang, peristiwa atau ide. Ini mencerminkan kemampuan individu untuk memahami dan menafsirkan secara tepat apa yang mereka lihat dan mereka dengar. Sinyal visual adalah bahasa tubuh. Banyak seminar dan buku yang memberikan interpretasi terhadap tanda-tanda dan isyarat yang lazim dipakai. Ini kerap kali menunjukan usaha yang sungguh- sungguh untuk memperbaiki pemahaman dan komunikasi. Bunyi vokal, dengan mendengarkan bunyi dan nada dari suara pembicara dapat memperkuat pemahaman. Kadang-kadang ada pesan tersembunyi yang dapat ditangkap dengan dengan mendengarkan secara cermat.
Berbicara memerlukan penyampaian pikiran yang urut dan logis. Meskipun banyak dari kemampuan berbicara dianggap sebagai wajar dan diterima begitu saja, namun kesuksesannya tergantung pada persiapan. Pembicara yang baik senantiasa menggunakan berbagai teknik yang dapat membuat aktivitas mendengarkan itu menjadi pengalaman yang mudah dan positif/ tidak membosankan.
Mendengarkan dan berbicara dapat membentuk fondasi komunikasi. Keduanya, dengan langkah yang sama, dapat menyeimbangkan pengembangan pertukaran informasi yang secara sosial terampil. Tanggung jawab pemimpin dalam hal ini kepala sekolah adalah menciptakan pemahaman mengenai tujuan yang akan dicapai sekolah. Dengan membuka kesempatan, mendorong sumbangan dari staf dan membimbing diskusi, tukar pikiran, dsb., sehingga pemahaman yang sama dapat muncul dalam kelompok itu. Pemahaman ini dapat memperkuat wawasan tujuan dari sekolah dan sekaligus memberikan sumbangan pada rasa kebersamaan.
Jika kepala sekolah melibatkan diri untuk menciptakan pemahaman, maka mereka dapat menunjukkan hal ini dengan mendengarkan secara penuh perhatian dan menggunakan nada diskusi/ musyawarah/ dalam forum yang toleran di dalam kelompok. Dengan demikian, kepala sekolah tidak hanya mendapatkan keuntungan dari ide sejawat guru, staf atau dari murid, tetapi juga dapat mendorong loyalitas dan komitmen/ tanggung jawab dari civitas sekolah itu. Sesungguhnya rasa hormat akan menghasilkan rasa hormat pula. Pemimpin itu memiliki kekuasaan untuk memulai spiral positif dari saling menghargai.
C. Supervisi
Serangkai dalam manajemen pendidikan dari sudut proses pencapaian tujuan yang mempunyai makna sebagai kontroling (pemantauan dan penilaian) adalah supervisi. Supervisi berasal dari kata supervise yang mengandung arti melihat dan meninjau dari atas atau menilik dan menilai dari atas yang dilakukan oleh pihak atasan terhadap aktivitas, kreativitas dan kinerja bawahan.
Terdapat beberapa istilah yang hampir sama dengan supervisi, bahkan dalam pelaksanaannya istilah-istilah tersebut sering digunakan secara bergantian. Istilah tersebut, antara lain, pengawasan, pemeriksaan, dan inspeksi. Pengawasan mengandung arti suatu kegiatan untuk melakukan pengamatan agar pekerjaan dilakukan sesuai dengan ketentuan. Pemeriksaan dimaksudkan untuk melihat bagaimana kegiatan yang dilaksanakan telah mencapai tujuan. Inspeksi dimaksudkan untuk mengetahui kekurangan-kekurangan atau kesalahan yang perlu diperbaiki dalam suatu pekerjaan.
Dalam kaitannya dengan MBS, supervisi lebih ditekankan pada pembinaan dan peningkatan kemampuan dan kinerja tenaga kependidikan di sekolah dalam melaksanakan tugas. Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh ahli diantaranya Pidarta (1988), Sutisna (1985) dan Suherman (1990), secara implisit memiliki wawasan dan pandangan baru tentang supervisi yang mengandung ide-ide pokok, seperti menggalakkan pertumbuhan professional guru, mengembangkan kepemimpinan demokratis, melepaskan energi, dan memecahkan berbagai masalah yang berkaitan dengan efektivitas proses pembelajaran. Pendekatan-pendekatan baru tentang supervisi tersebut menekankan pada peranan supervisi selaku bantuan, pelayanan serta fasilitas (pemberi kemudahan) kepada guru dan personil pendidikan lain untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas pendidikan umumnya, khususnya kualitas proses pembelajaran di sekolah (Mulyasa, 2004).
Dengan demikian supervisi akademik secara ringkas dimaksudkan sebagai untuk meningkatkan kemampuan professional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Secara khusus, ametembun (1981) mengupas tujuan supervisi akademik sebagai berikut :
1.Membina kepala sekolah dan guru-guru untuk lebih memahami tujuan pendidikan yang
sebenarnya dan peranan sekolah dalam merealisasikan tujuan tersebut.
2.Memperbesar kesanggupan kepala sekolah dan guru-guru untuk mempersiapkan peserta
didiknya menjadi anggota masyarakat yang lebih efektif.
3.Membantu kepala sekolah dan guru mengadakan diagnosis secara kritis terhadap
aktivitas-aktivitasnya dan kesulitan-kesulitan pembelajaran, serta menolong mereka
merencanakan perbaikan-perbaikan.
4.Meningkatkan kesadaran kepala sekolah dan guru-guru serta warga sekolah lain
terhadap cara kerja yang demokratis dan konprehensif, serta memperbesar kesediaan
untuk tolong-menolong.
5.Memperbesar semangat guru-guru dan meningkatkan motivasi berprestasi untuk
mengoptimalkan kinerja secara maksimal dalam profesinya.
6.Membantu kepala sekolah untuk mempopulerkan pengembangan program pendidikan dan
sekolah kepada masyarakat.
7.Melindungi orang-orang yang disupervisi terhadap tuntutan-tuntutan yang tidak
wajar dan kritik¬¬¬-kritik yang tidak sehat dari masyarakat.
8.Membantu kepala sekolah dan guru-guru dalam mengevaluasi aktivitasnya untuk
mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik.
9.Mengembangkan rasa kesatuan dan persatuan (kolegalitas) diantara guru.

BAB V
MANAJEMEN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN BERBASIS SEKOLAH

Manajemen pembiayaan pendidikan berbasis sekolah merupakan bagian dari kegiatan pembiayaan pendidikan, yang secara keseluruhan menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi serta mempertanggungjawabkannya secara efektif dan transparan.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, manajemen pembiayaan pendidikan berbasis sekolah perlu dilakukan untuk menunjang penyediaan sarana dan prasarana dalam rangka mengefektifkan kegiatan pembelajaran, dan meningkatkan prestasi belajar peserta didik.
Dari berbagai hasil kajian konseptual dapat dideskripsikan bahwa manajemen pembiayaan pendidikan berbasis sekolah mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu perencanaan, evaluasi dan pertanggung jawaban.
A.Perencanaan Pembiayaan Pendidikan Berbasis Sekolah
Perencanaan pembiayaan pendidikan berbasis sekolah sedikitnya mencakup dua kegiatan, yakni penyusunan anggaran, dan pengembangan rencana anggaran belanja sekolah (RAPBS).
1.Penyusunan Anggaran Pembiayaan
Penyusunan anggaran pembiayaan pendidikan berbasis sekolah atau sering disebut anggaran belanja sekolah (ABS), biasanya dikembangkan dalam format-format yang meliputi : (1) sumber pendapatan terdiri dari uang yang harus dipertanggungjawabkan (UYHD), dana pembangunan pendidikan (DPP), operasi perawatan fasilitas (OPF) dan lain-lain; (2) pengeluaran untuk belajar mengajar, pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana, bahan-bahan dan alat pelajaran, honorarium dan kesejahtaraan.
Lipham (1985) mengungkapkan empat fase kegiatan pokok penyusunan anggaran sebagai berikut :
a.Perencanaan anggaran; merupakan kegiatan mengidentifikasi tujuan, menentukan prioritas, menjabarkan tujuan ke dalam penampilan operasional yang dapat diukur, menganalisis alternatif pencapaian tujuan, membuat rekomendasi alternatif pendekatan untuk mencapai sasaran.
b.Mempersiapkan anggaran; antara lain menyesuaikan kegiatan dengan mekanisme anggaran yang berlaku, bentuknya, distribusi, dan sasaran program pengajaran perlu dirumuskan dengan jelas. Melakukan inventarisasi kelengkapan peralatan, dan bahan-bahan yang telah tersedia.
c.Mengelola pelaksanaan anggaran; antara lain mempersiapkan pembukaan, melakukan pembelanjaan dan membuat transaksi, membuat perhitungan, mengawasi pelaksanaan sesuai dengan prosedur kerja yang berlaku, serta membuat laporan dan pertanggung jawaban keuangan.
d.Menilai pelaksanaan anggaran; antara lain menilai pelaksanaan proses belajar-mengajar, menilai bagaimana pencapaian sasaran program, serta membuat rekomendasi untuk perbaikan anggaran yang akan datang.

2.Pengembangan Rencana Anggaran Belanja Sekolah
Proses pengembangan RAPBS pada umumnya menempuh langkah-langkah pendekatan dengan prosedur sebagai berikut :
a.Pada Tingkat Kelompok Kerja
Kelompok kerja yang dibuat sekolah, yang terdiri dari para pembantu kepala sekolah memiliki tugas antara lain melakukan identifikasi kebutuhan-kebutuhan biaya yang harus dikeluarkan, selanjutnya diklasifikasikan, dan dilakukan perhitungan sesuai kebutuhan.
b.Pada Tingkat Kerja sama dengan Komite
Kerjasama antara Komite Sekolah dengan kelompok kerja yang telah terbentuk perlu dilakukan untuk mengadakan rapat pengurus dan rapat anggota dalam rangka mengembangan kegiatan yang harus dilakukan sehubungan dengan pengembangan RAPBS.
c.Sosialisasi dan Legalitas
Setelah RAPBS dibicarakan dengan Komite Sekolah selanjutnya disosialisasikan kepada berbagai pihak. Pada tahap sosialisasi dan legalitas ini kelompok kerja melakukan konsultasi dan laporan pada pihak pengawas, serta mengajukan usulan RAPBS kepada Kantor Wilayah untuk mendapatkan pertimbangan dan pengesahan.
B.Pelaksanaan Pembiayaan Pendidikan Berbasis Sekolah
Pelaksanaan pembiayaan pendidikan berbasis sekolah dalam garis besarnya dapat dikelompokan ke dalam dua kegiatan, yakni penerimaan dan pengeluaran atau penggunaan.

1.Penerimaan
Berdasarkan buku pedoman rencana, program dan penganggaran, sumber dana pendidikan yang dapat dikembangkan dalam anggaran belanja sekolah antara lain meliputi anggaran rutin (DIK); anggaran pembangunan (DIP); dana penunjang pendidikan (DPP); dana masyarakat; donatur; dan lain-lain yang dianggap sah oleh semua pihak. Pendanaan pendidikan pada dasarnya bersumber dari pemerintah, orang tua, dan masyarakat (Pasal 33 No. 2 Tahun 1989). Disamping itu, dapat pula di gali dari sumber-sumber yang mungkin dari pihak masyarakat dalam bentuk kerja sama saling menguntungkan (mutualisma).

2.Pengeluaran
Dalam manajemen pembiayaan pendidikan berbasis sekolah, pengeluaran keuangan (UYHD) harus dibukukan sesuai dengan pola yang ditetapkan oleh peraturan. Beberapa hal yang harus dijadikan patokan bendahara dalam pertanggungjawaban pembukuan, meliputi format buku kas harian, buku tabelaris, dan format laporan daya serap penggunaan anggaran serta beban pajak. Aliran pengeluaran harus dicatat sesuai dengan waktu serta peruntukkannya.
Untuk mengefektifkan pembuatan perencanaan pembiayaan pendidikan berbasis sekolah, maka yang sangat bertanggung jawab sebagai pelaksana adalah kepala sekolah. Dalam manajemen pembiayaan pendidikan berbasis sekolah penyusunan anggaran belanja sekolah dilaksanakan oleh kepala sekolah dibantu para wakilnya yang ditetapkan oleh kebijakan sekolah, serta komite sekolah dibawah pengawasan pemerintah.

C.Evaluasi dan Pertanggungjawaban
Evaluasi dan pertanggungjawaban pembiayaan pendidikan berbasis sekolah dapat diidentifikasi ke dalam tiga hal, yaitu pendekatan pengendalian penggunaan alokasi dana, bentuk pertanggungjawaban dana pendidikan tingkat sekolah, dan keterlibatan pengawasan pihak eksternal sekolah.

KESIMPULAN

1.School Based Management (SBM) atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi, dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
2.Dengan otonomi yang diberikan diharapkan sekolah dapat menjadi efektif, efisien dan lebih produktif dengan kata lain MBS menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi para peserta didik, memenuhi tuntutan masyarakat maupun memenuhi kebutuhan akan lapangan kerja.
3.Untuk itu konsep pengelolaan MBS membutuhkan kepemimpinan yang kuat, juga diperlukan kerja sama yang erat antar sekolah, masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian sekolah dituntut memiliki accountability (akuntabilitas) sehingga keterlibatan stake-holders terutama dalam daya dukung finansial makin meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

B. Suryosubroto, Manajemen Pendidikan Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta 2004.
Carol A. O’Connor, Kepemimpinan Yang Sukses Dalam Sepekan, Pengalih Bahasa: Sugeng Panut, Cet. 1, Jakarta, Kesaint Blanc 1996.
Cyril Poster, Gerakan Menciptakan Sekolah Unggul, Jakarta, Lembaga Indonesia Adidaya 2000.
Departemen Agama RI, Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah, Penyusun: Mulyasa, Jakarta 2004.
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung, Remaja Rosda Karya 2004.
Jaap Scheerens, Peningkatan Mutu Sekolah, Penerjemah: Abas Al-Jauhari, Jakarta, Logos 2003.
Walter W. McMahon, Sistem Informasi Manajemen Berbasis Efisiensi, Penerjemah: Nunik Nurjanah, Jakarta, Logos 2004.

Kamis, 30 Juli 2009

Sultan Hamid II Perancang Lambang Negara RI yg terlupakan



SEPANJANG orang Indonesia, siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.

Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab --walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak --keduanya sekarang di Negeri Belanda.

Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan "over commando" kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar - karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL. Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan "ide perisai Pancasila" muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.

Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku "Bung Hatta Menjawab" untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya "Sekitar Pancasila" terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan "tidak berjambul" seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.

Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang "gundul" menjadi "berjambul" dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. "Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999," akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. "Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II," katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.**

Oleh Turiman Fachturahman Nur SH, M.Hum
*) Penulis adalah Pengurus Yayasan Sultan Hamid II Jakarta

Sumber : http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=140109